Aib Kota Pekalongan yang Sampai Sekarang Masih Menghantui

Sudah dua tahun ini, saya bersama keluarga bolak-balik ke Pekalongan. Bukan tanpa sebab, adik saya menempuh pendidikan sekolah menengah atas di kota batik tersebut.

 

Bacaan Lainnya

Selama di Pekalongan, saya menjumpai berbagai pengalaman yang belum saya jumpai sebelumnya di Kabupaten Purbalingga. Pada kesempatan kali ini, saya ingin menyampaikan pengalaman ini kepada para pembaca agar tidak mengalami culture shock saat berkunjung ke Kota Pekalongan.

 

Aib #1 Limbah batik masih menghantui Kota Pekalongan

Pekalongan terkenal sebagai sentra pembuatan batik. Hal ini bisa dilihat dari kualitas batik cap dan tulis yang tidak perlu diragukan lagi. Selain menjadi kebanggaan masyarakat, batik juga memiliki dampak buruk bagi keberlangsungan warganya. Yaps, limbah batik.

 

Batik yang sudah selesai dilukis dan dikeringkan harus dicuci menggunakan air bersih. Jika sudah, air sisa pencucian batik harus dibuang ke tempat yang aman agar tidak mencemari lingkungan. Tapi, jika berkunjung ke Pekalongan, kalian akan menjumpai parit yang begitu hitam. Catat baik-baik, “hitam”, bukan gelap atau keruh.

 

Selain kotor, air paritnya juga mengalir sangat lambat. Hal itu sangat berbeda dengan parit di daerah saya (baca: Purbalingga) yang biasa digunakan oleh anak-anak bermain air dan berenang. Haduh, sudah paritnya hitam, mengalirnya lambat lagi. Ini si bukan manusia saja yang enggan menggunakan air parit, nyamuk saja enggan untuk menetaskan jentik-jentik di sana. Lah wong banyune ireng banget, lur!

 

Aib #2 Cuaca yang sangat panas

FYI, letak Pekalongan yang dekat dengan pantai utara Jawa membuat kota satu ini tergolong panas ketika musim kemarau datang. Meskipun tidak sepanas Bekasi, tapi boleh diadu. Rata-rata panas di Pekalongan saat siang hari mencapai 31 derajat celcius.

 

Jika saat kemarau panas begitu menyengat, berbeda cerita saat musim hujan tiba. Saat musim hujan tiba, beberapa titik di Pekalongan akan dilanda banjir. Ketinggiannya pun bisa mencapai mata kaki. Hal ini bisa kalian rasakan saat melewati Jalan H. Mochamad Charoen, Banyurip Alit, Pekalongan Selatan. Banjirnya memang nggak parah-parah amat. Tapi namanya banjir ya tetap meresahkan ya, guys!

 

Banjir ini disebabkan sistem parit dan selokan di Kota Pekalongan yang sangat buruk. Banyak parit dan selokan yang mampet. Apalagi air di parit seperti saya jelaskan tadi, hitam pekat. Selain mengganggu lalu lintas, banjir bisa menyebabkan penyakit kulit bagi warga. Yang lebih epik lagi, banjir bisa membuat jalan mudah rusak dan berlubang. Wis lah complicated banget, lur!

 

Saya rasa ini menjadi PR bagi pemerintah kota sebelum banjir bertambah parah. Apalagi akhir-akhir ini muncul statemen bahwa Kota Pekalongan akan tenggelam.

 

Aib #3 Pantai yang kotor

Sesekali waktu, saya juga menyempatkan waktu untuk berkunjung ke laut utara Jawa. Satu kata yang muncul dalam benak saya yaitu, “kotor”. Bahkan, airnya lebih kotor daripada air di pantai selatan Jawa. Warna airnya hampir 11-12 sama warna parit di Kota Pekalongan.

Ini sebabnya kalian akan jarang menemui pengunjung yang mandi di pinggir pantai. Kalau kalian maksa mandi di sana akan muncul slogan baru, yaitu, habis mandi terbitlah dokter kulit.

(Mojok.co)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *